Resensi Novel “Gajah Mada – Hamukti Moksa”
Setiap kisah pasti ada ujung ceritanya. Begitu pula dengan kisah perjalanan panjang Gajah Mada yang tersusun rapi dan menarik dalam kisah novel fiksi sejarah Gajah Mada, pada akhirnya perjalanan panjang tersebut juga mencapi titik akhir. Bahkan betapa pun sempurnanya keindahan mentari pagi di ufuk timur, betapapun garangnya membakar bumi di siang hari, saat senja datang, tetap harus tenggelam juga. Resensi novel “Gajah Mada – Hamukti Moksa” akan memberikan sedikit rangkuman kisah akhir perjalanan panjang Gajah Mada dalam membangun kebesaran Majapahit yang pada akhirnya harus mencapai titik akhir dengan keputusan Gajah Mada untuk hilang lenyap, moksa tidak diketahui jejaknya.
Mencapai puncak, sepertinya menjadi tema akhir dari buku Gajah Mada yang ke-5 yang ditulis Langit Kresna Hariadi. Dalam buku ini, meskipun tema utamanya adalah kisah akhir dari Gajah Mada, namun yang menarik adalah kisah yang membayangi kisah utama, seperti perjalanan cinta Kuda Swabaya dengan Emban Kesayangan Dyah Wiyat Rajadewi Maharajasa, termasuk sedikit gonjang ganjing keluarga Kanuruhan Gajah Enggon dan Nyai Rahyi Sunelok akibat putra satu-satunya Lurah Prajurit Gajah Sagara tergila-gila dengan seorang pesinden yang bernama Dyah Ganitri, meskipun pada cerita akhir terbongkarlah kedok Dyah Ganitri bahwa sebenarnya dirinya adalah emban dari istana Surawisesa yang melayani Tuan Putri Dyah Pitaloka dengan nama Nenden Pritaya.
Selain kisah menarik yang mengiring perjalanan Gajah Mada, juga terdapat kisah keluarga Pradhabasu dengan Dyah Menur. Yang seolah membawa kembali pada kisah masa lalu dengan perjalanan Kuda Swabaya yang sejatinya adalah putra kandung dari Raden Kudamerta. Yang menarik adalah kisah ini memberikan setitik kisah bahagia saat Dyah Pretiwi yang merupakan putri dari Pradhabasu dengan Dyah Menur dan dipersunting oleh Laksamana Nala.
Identitas Buku:
Resensi Buku “Gajah Mada – Hamukti Moksa”
Cerita dengan tokoh utama Gajah Mada telah hampir sampai pada titik akhir. Tragedi Bubat sudah melukai banyak pihak dan mengakibatkan dampak yang sangat luas. Bahkan Prabu Hayam Wuruk sangat terluka, karena cintanya yang sedang mekar tiba-tiba harus dihadapkan pada maut. Tidak hanya Prabu Hayam Wuruk saja, namun Keluarga Raja Majapahit juga terluka karena akar sejarahnya yang dekat dengan Sunda Galuh mendadak harus dipangkas dengan paksa. Sunda Galuh menjadi pihak yang sangat terluka, bukan saja karena harga diri yang dilecehkan, namun juga semangat perdamaian, harapan dan juga kepercayaan Sunda Galuh terhadap Majapahit dinodai sampai dengan titik yang paling hitam.
Namun bagaimana dengan Gajah Mada? Gajah Mada menjadi sosok yang ditempatkan sebagai pihak yang paling bersalah atas Tragedi Bubat. Gajah Mada menjadi pihak yang paling dihujat, dicela dan juga dicaci. Hal ini membuat sosok yang berjasa dalam pengembangan dan membesarkan Majapahit menjadi pihak yang sangat terluka, karena hasil kerja kerasnya selama dua puluh tahun lebih seperti tidak ada harganya. Segala pengorbanan yang diberikan Gajah Mada untuk dapat menyatukan seluruh wilayah nusantara di bawah panji-panji Majapahit justru mengalami kegagalan pada titik terakhir.
Baca juga: Resensi Novel “Gajah Mada –Sumpah di Manguntur”.
Bahkan akibat tragedi berdarah di Bubat, membuat Gajah Mada tetap dijatuhi hukuman yang membuatnya dihempaskan dari dhampar kepatihan dan harus melewati hari tua di Madakaripura, sebuah tempat terpencil yang jauh dari segala hingar bingar duniawi.
Namun, yang terbaik tetaplah yang terbaik, sekali lagi sejarah membuktikan nama besar Gajah Mada tidak hanya isapan jempol saja. Setelah ditinggal Gajah Mada, Majapahit mulai dilanda berbagai persoalan, bahkan yang menyedihkan adalah persoalan terbesar, yaitu ancaman disintegrasi. Tanpa Gajah Mada, negara bawahan tidak takut lagi memperjuangkan kemerdekaannya.
Dan, pada akhirnya Prabu Hayam Wuruk harus kembali mengandalkan Gajah Mada untuk menduduki jabatannya kembali, Gajah Mada dipanggil kembali untuk menduduki jabatannya kembali. Namun semua itu ada waktunya, Gajah Mada tetaplah manusia biasa yang tidak mungkin bisa membendung sang waktu.
Dan pada akhirnya semua menuju titik akhir. Semua yang hidup pasti berujung pada kematian. Begitu pula dengan Gajah Mada dengan segala romantikanya dan juga gegap gempitanya juga usai.
Kelebihan Novel “Gajah Mada – Hamukti Moksa”
Drama Majapahit merupakan cerminan yang merefleksikan betapa tidak ada manusia yang sempurna, bahkan seorang Gajah Mada pun sama, hidup tidak berhenti pada satu titik, bahwa ambisi harus dikendalikan, dan yang menjadi hal utama adalah kerendahan hati mesti dimiliki.
Pada kisah terakhir cerita novel fiksi “Gajah Mada – Hamukti Moksa”, memberikan banyak pelajaran yang berharga, khususnya tentang hidup dengan cerminan dari kisah hidup seorang Gajah mada.
Novel “Gajah Mada – Hamukti Moksa” |
Hamukti Moksa menjadi pilihan hidup Gajah Mada yang terakhir, Gajah Mada menjadi seorang yang dikenal sebagai tanpa diketahui asal usulnya, tidak diketahui siapa orang tuanya, tidak diketahui dimana kuburnya dan tidak diketahui anak turunnya, Gajah Mada hilang lenyap, moksa tidak diketahui jejak kakinya, murca berubah bentuk menjadi udara.
Kekurangan Novel “Gajah Mada – Hamukti Moksa”
Sebagai sebuah cerita fiksi sejarah yang mengagumkan, tidak ada kekurangan apa pun dari karya Langit Kresna Hariadi ini, namun yang menjadi kekurangan hanyalah kisah lanjutan dari kisah fiksi tokoh pengiring dari Gajah Mada, bagaimana kisah asmara Kuda Swabaya dengan Prabasiwi, kisah Dyah Ganitri setelah meninggalnya Gajah Sagara dan kisah lainnya.
Itu dia, sedikit resensi novel “Gajah Mada – Hamukti Moksa”, semoga bermanfaat, menghibur dan menginspirasi kita semua.
Belum ada Komentar untuk "Resensi Novel “Gajah Mada – Hamukti Moksa”"
Posting Komentar