Serat Centhini
Dalam beberapa waktu lalu, di beberapa bahasan sebelum ini, terdapat bahasan dan resensi tentang bentuk bangunan jaman dahulu, seperti bentuk bangunan jaman Majapahit dan juga beberapa kisah dalam relief Candi Prambanan yang memberikan kisah dan gambaran dalam relief tersebut. Semakin lama tentunya semakin menarik untuk mengetahui berbagai kisah masa lampau, termasuk buku dan karya sastra jaman kuno. Tertarik dengan hal tersebut, salah satu yang menarik perhatian adalah Serat Centhini, yang kabarnya sudah dirilis sejak awal abad ke-19.
Serat Centhini (Foto: jitunews.com) |
Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa sampai banyak yang tertarik dengan Serat Centhini ini? Sebenarnya banyak yang pro dan kontra tentang Serat Centhini ini, hal ini disebabkan adanya anggapan bahwa Serat Centhini merupakan kitab seksnya Jawa. Tidak dapat dipungkiri, memang urusan seks memang selalu menarik untuk dibicarakan, mulai dari obrolan iseng di warung kopi, di pinggir jalan sambil menikmati suasana, atau bahkan dibicarakan ibu-ibu saat sedang arisan.
Serat Centhini Bahasa Indonesia, Adakah?
Sebenarnya berbicara tentang urusan ranjang memang masih tabu untuk ukuran orang Indonesia, dengan berbagai halnya masih dianggap sakral. Namun penasaran dengan berbagai kisah, apalagi sejak menyebarnya buku dan sedikit cukilan filam dari India, yaitu Kama Sutra. Maka pencarian informasi tentang masalah seks dan seksualitas ini berlanjut dengan mulai banyaknya informasi yang didapatkan dari internet dan berbagai buku dan majalah.
Informasi tentang Serat Centhini salah satunya didapatkan dari Majalah Intisari Edisi No. 502, yang ditulis oleh Al. Heru Kustara, yang membahas tentang “Mengintip Seksualitas Serat Centhini”. Pada awalnya, para pembaca banyak yang menganggap bahwa Serat Centhini sama seperti buku karya sastra kuno yang membahas tentang apa yang dilakukan dalam hidup, namun setelah menelaah ternyata benar, bahwa sebagian besar yang dibahas adalah masalah seksualitas, yang menjadi tema sentral yang diungkap secara verbal dan terbuka.
Baca juga: Tari Remo, Sejarah dan Perkembangannya Saat Ini.
Sebenarnya apa dan bagaimana asal-usul Serat Centhini ini menjadi menarik untuk dibahas. Karya sastra yang memiliki nama asli Suluk Tembangraras ini digubah sekitar tahun 1815 oleh 3 orang pujangga istana Kraton Surakarta, yaitu Yasadipura II, Ranggasutrasna dan R. Ng. Sastradipura atas perintah dari K.G.P.A.A. Amengkunegara II atau Sinuhun Paku Buwana V.
Serat Centhini ini terdiri atas 722 tembang (lagu Jawa) yang membahas tentang seks dan seksualitas. Karena membahas tentang masalah tersebut, menjadikan Serat Centhini menjadi termasyhur. Bahkan seorang kontributor surat kabar Prancis, yaitu Elizabeth D. Inandiak, telah menerjemahkannya ke dalam Bahasa Prancis, dengan judul Les Chants de l’ile a dormir debout le Livre de Centhini.
Masalah seksual dalam Serat Centhini ini diungkapkan dalam berbagai versi dan kasus. Seperti yang berhubungan dengan pengertian, sifat, kedudukan dan fungsi, etika dan tata cara bermain seks, dan lain-lain. Otto Sukatno CR dalam bukunya yang berjudul “Seks Para Pangeran: Tradisidan Ritualisasi Hedonisme Jawa (Bentang, 2002), menyampaikan banyak hal, terkait masalah seksualitas, antara lain:
- Centhini II (Pupuh Asmaradana) yang diuraikan dengan jelas, tentang ‘ulah asmara’ yang berhubungan dengan lokasi genital yang sensitif dalam hubungannya dengan permainan seks. Misalnya, cara membuka atau mempercepat orgasme bagi perempuan, serta mencegah atau mempercepat agar lelaki tidak ejakulasi. Selain itu, juga diulas bentuk-bentuk serta pose hubungan seksual yang seharusnya dilakukan. Hal ini dimaksudkan agar pasangan dapat mencapai kepuasan bersama-sama.
- Centhini IV (Pupuh Balabak) yang menguraikan secara terbuka tentang pratingkahing cumbana (gaya persetubuhan) serta sifat-sifat perempuan dan bagaimana cara membangkitkan nafsu asmaranya. Dalam melakukan penetrasi, misalnya harus tetap melihat tipe perempuan pasangannya, sehingga terdapat gaya kadya galak sawer (patukannya laksana ular galak); lir ngaras gandane sekar (seperti meraba baunya bunga); lir bremana ngisep sekar (laksana kumbang mengisap madu); lir lumaksana pinggire jurang, dan sebagainya.
- Centhini V (Dhandhanggula) yang mengungkapkan bahwa perempuan tidak selamanya bersikap lugu, pasif dalam masalah seks sebagaimana stereotip dalam pandangan Jawa. Para wanita ini juga memiliki kebebasan yang sama dalam mengungkapkan pengalaman seksualnya.
Serat Centhini juga mengungkapkan adanya ritulisasi seksual termasuk tentang tata krama dalam melakukan hubungan seksual antar suami istri. Dalam berhubungan, misalnya, harus empan panan, maksudnya, mengetahui situasi, tempat dan keadaan, tidak tergesa-gesa dan merupakan keinginan bersama.
Dalam Serat Centhini (Pupuh Salisir) juga mengungkapkan bahwa suami harus memperhatikan istrinya berdasarkan ciri-ciri atau penampakan tubuhnya sebelum berhubungan badan.
Selain itu, Serat Centhini juga membahas tentang pengobatan seksual yang bisa dijumpai dalam Serat Centhini VII (Pupuh Dhandhanggula), misalnya untuk mencegah agar air mani tidak encer sehingga bisa memperoleh keturunan. Resepnya berupa merica suti dan cabe wungkuk tujuh buah, garam lanang, arang kayu jati, gula aren seperempat. Semua bahan tersebut dipipis sampai lembut di tengah halaman pada siang hari, baru kemudin dibentuk seperti kapsul.
Menarik bukan membahas tentang karya sastra kuno? Semoga sedikit cukilan tentang Serat Centhini ini bermanfaat dan menjadi sumber informasi bagi Anda.
Belum ada Komentar untuk "Serat Centhini"
Posting Komentar