Benarkah Harus Mengonsumsi Susu Secara Terus Menerus?
Selalu menjaga kesehatan menjadi hal wajib bagi kita semua, apalagi setelah wabah pandemi Covid-19 ini mereda. Begitu banyak pelajaran penting yang didapat saat pandemi tersebut yang membuat kita harus selalu perhatian pada kesehatan. Salah satunya tentang makanan dan minuman yang dikonsumsi. Bahkan ada pertanyaan menarik, benarkah harus mengonsumsi susu secara terus menerus?
Ilustrasi (Gambar: blog.chesapeakeregional.com) |
Pertanyaan ini sebenarnya cukup menggelitik karena apa yang disampaikan orang-orang terus terang bertolak bekakang dengan apa yang disampaikan dr Tan, nama panggilan dr Tan Shot Yen yang mengasuh rubrik gizi dan kesehatan di Tabloid Nyata.
Susu atau ASI, Mana yang Benar?
Yang perlu diketahui adalah ilmu kesehatan tidak berdiri sendiri, juga perlu merujuk pada antropologi, sejarah pola hidup dan dan pola makan manusia, sejarah kepentingan teknologi industri pangan mapun kesehatam, dan juga kembali lagi pada: Apakah cocok untuk kesejahteraan manusia yang optimal lahir-batin-mental-spiritual?
Yang perlu dilihat adalah:
1. Kita perlu belajar dari hewan menyusui. Susu hanya cocok sebagai ‘makanan antar’ ketika bayinya belum sanggup mengunyah dan mencerna. Begitu bisa tegak berjalan, mencari makan dan mampu mengunyah makanan padat, susu bukan lagi konsumsi alamiahnya.
Dalam hal ini, dr Tan tidak menyamakan manusia dengan hewan, tapi kita harus belajar dari alam, fakta dan menyadari berbagai unsur permainan “kepentingan yang lain” di balik jargon kesehatan yang hanya dipakai untuk nilai jual.
Baca juga: Saat Anak Sulit Makan dan Berat Badan Pun Rendah.
Faktanya, enzim pencernaan manusia untuk mencerna susu juga mulai menyusut pada usia 2 sampai 3 tahun. Berbarengan dengan itu, gigi pun komplit di usia 2 tahun. Sangat tepat bukan? Lepas dari susu, kunyah makanan padatnya.
2. Alam hanya menyediakan ASI untuk konsumsi manusia. Susu sapi hanya untuk sapi. Susunannya pun sama sekali tidak cocok untuk manusia. Komposisi susu sapi hanya untuk membuat anak-anak sapi gemuk, bertulang besar, tidak perlu pandai apalagi menikmati umur panjang. Susu sapi alami tidak cocok untuk manusia.
Karena dipaksakan supaya cocok agar tidak mengandung bakteri, manusia melakukan sterilisasi susu antara lain dengan pasteurisasi yang efek sampingnya semua zat gizi susu rusak total (karena itu setelah proses sterilisasi perlu ditambahkan berbagai zat dari luar supaya kelihatan bergizi. Proses pasca sterilisasi inilah yang membuat heboh ‘menyusupnya’ bakteri beberapa waktu yang lalu). Begitu pula agar kolesterol susu sapi yang tinggi tidak membuat manusia kegemukan dan naik kolesterolnya, ditemukanlah teknik yang membuat susu sapi mendapat istilah skim, karena minyaknya ditarik atau diambil.
Efek sampingnya? Manusia menjadi tetap gemuk. Karena bukan hanya kolesterol yang bermasalah, tapi pada gula susu (laktosa) dan keasamannya yang membuat tulang justru semakin keropos.
Supaya cocok untuk kebutuhan kecerdasan anak manusia, maka pemaksaannya melalui jalur teknologi. Susu sapi yang miskin gizi itu ditambahkan zat-zat atau asam amino yang diduga sebagai bagian dari kebutuhan perkembangan saraf dan otak, padahal kecerdasan lebih dari sekedar asam amino atau zat yang diimbuhkan itu.
kecerdasan berkaitan erat dengan IMD (Inisiasi Menyusu Dini) saat anak menginstegrasikan kecerdasan pertamanya secara instingtual untuk merayap menemukan puting ibu selepas itu menyelesaikan dan mengintegrasikan reflek-refkles primitifnya.
Kecerdasan terletak pada antiobodi prima manusia yang alami, yang hanya terdapat pada ASI sampai usia 2 tahun saja.
Kecerdasan juga berhubungan dengan pematangan ‘sambungan-sambungan sistem saraf’ dari 3 susunan otak manusia (reptilian brain yang primitif hanya mengurus sistem pertahanan diri/survival, mamalian brain yang berfungsi mengenali cinta, rasa, aman , peduli, kekeluargaan dan neo-mamalian brain yang baru setelah usia 6 tahun mengenal istilah cara pikir ‘rasional’.
Kecerdasan manusia bukan hanya tentang pandai berhitung dan berbahasa asing (IQ), tapi cerdas secara emosional (EQ), spiritual (SQ). Sehingga yang membuat manusia maju dan makmur bukan hanya mereka yang ber-IQ tinggi , tapi juga ber-EQ tinggi, sehingga mampu bersyukur, berhubungan mesra dengan Penciptanya. Dan apa anak sapi bisa begini?
3. Jika argumen susu dihisap sebagai sumber kalsium (yang dipercaya sebagai penguat tulang), maka perlu ditegaskan kembali: Apakah hanya susu satu-satunya sumber kalsium?
dr. Tan sendiri mencurigai ‘nasihat-nasihat’ yang menganjurkan orang minum susu akhirnya sebatas karena penelitian yang sangat sepihak, sangat kadaluwarsa, dan celakanya, karena kepercayaan seri nutrisi zaman penjajahan Belanda yang masih berurat aakar.
Tulang pun menjadi kuat bukan semata-mata karena kalsium. Melainkan kita perlu mengasup Magnesiaum, Seng (Zinc), Boron, Mangaan, Provitamin D-3 dan lain-lain.
Baca juga: Produk dengan Label Food Grade, Baguskah Hasilnya untuk Kesehatan.
Nenek moyang kita sebelum mengenal pabrik susu tidak pernah menderita patah tulang akibat keropos sebelum waktunya. Mengapa demikian?
Mereka mengonsumsi makanan alam yang dikunyah juga memperkuat tulang selepas ASI di atas 2 tahun.
Menurut dr Tan bahkan mengonsumsi 1 cangkir selada bokor (iceberg lettuce) akan memberikan kekuatan tulang yang di hari tua bisa mencegah terjadinya patah tulang panggul (hal ini sudah diriset para ahli dari Harvard University, Amerika Serikat yang melibatkan 72.000 wanita).
Kalsium pada susu yang bukan ASI, tidak dikenal oleh tubuh manusia. Oleh karena itu, bersifat Non-bio-available. Jadi, bukannya membuat tulang lebih kuat, malah kalsium akan ‘salah tempat’ ke tempat yang salah, dan tempat yang paling sering menjadi sasaran pendaratan kalsium, adalah dinding pembuluh darah. Bukannya mendapatkan manfaat positif dari susu, malah mendapat bonus penyakit yang sangat tidak menyenangkan, dengan penebalan dinding pembuluh darah dan segala akibatnya (Sebagaimana dipaparkan dalam salah satu jurnal kedokteran anak oleh Dr Frank Oski. Upstate Medical Center Department of Pediatrics, USA).
Orang Amerika Serikat dan Eropa Utara mengonsumsi 800 sampai 1200 mg kalsium pada satu harinya, tapi mereka lebih menderita osteoporosis bila dibandingkan dengan orang Asia dan Afrika, yang mengonssumsi 300 sampai 500 mg kalsium per hari.
Mengapa demikian? Hal ini disebabkan daging merah, gula, tepung dan makanan berupa bumbu non-alam menyebabkan keasaman darah meningkat.
Untuk menetralisirnya tubuh mengambil kalsium (yang bersifat alkalis) dari tulang, sehingga masalah osteoporosis bukan seseorang itu tidak cukup memakan kalsium. Masalahnya, mereka ini sudah kehilangan kalsium.
Maka, mengasup lebih banyak kalsium bukan jawaban, karena Anda bisa kehilangan lebih banyak daripada yang Anda asup (misalnya masih tetap memakan daging merah, gula, terigu, beras, berbagai saus dan kecap produksi pabrik dan lain-lain). Apabila ekstra kalsium yang dikonsumsi berasal dari makanan yang mengandung protein tinggi, seperti susu, keju dan es krim, keadaan akan menjadi lebih buruk karena makanan ini pembentuk asam yang sangat tinggi. Tubuh semakin kehilangan kalsium.
4. Dari hasil konvensi dunia (Worls Breastfeeding Week, 1-7 Agustus 2206, Elisabeth Sterken, BSc. MSc Nutritionis INFACT Canada/North America, menulis bahwa susu bukan ASI meningkatkan risiko asma, alergi penurunan perkembangan kecerdasan, peningkatan risiko infeksi saluran napas atas, kekurangan nutrisi yang tidak didapatkan dalam susu non ASI, risiko kanker masa anak, risiko penyakit kronik, risiko diabetes, risiko penyakit kardiovaskuler, risiko kegemukan, risiko infeksi pencernaan, risiko radang telinga, risiko semua efek samping akibat penambahan zat yang tidak semestinya dalam susu bubuk atau cair (sudah terbukti mulai bakteri hingga melamin, bukan?
Banyak istilah ajaib yang membuat Anda mengernyitkan dahi. Semua susu mengandung laktosa (gula susu), hal ini agar anak yang doyan manis tingkat tinggi menyukainya.
Padahal dalam proses pabrikasi, juga ditambahi dengan sukrosa (gula rantai panjang) atau corn syrup (gula pembunuh nomor satu di Amerika Serikat), belum lagi dengan perisa atau gula sintetis, dan susunya pun berasal dari “skimmed powdered milk”. Bahkan susu cair pun melalui proses skim dulu.
Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa susu yang sudah cair perlu dijadikan bubuk kemudian dibuat cair lagi. 30 sampai 40 tahun lalu (saat anak Indonesia dengan mentah-mentah menolak susu karena tidak doyan dengan bau susu dan harus dipaksa minum) label komposisi susu bubuk cukup tertulis ‘whole milk’. Risiko whole milk pun membuat manusia terpaksa seperti sapi sungguhan, dengan ciri gemuk, bodoh, lamban dan berusia pendek.
5. Sebagai tambahan informasi, Anda bisa membuka situs website Dr. Mercola, www.mercola.com, dan mencari informasi tentang ‘milk’ atau semua informasi kesehatan yang Anda butuhkan.
Semoga informasi tentang “benarkah harus mengonsumsi susu secara terus menerus” ini bermanfaat untuk Anda yang bersumber dari rubrik tanya jawab kesehatan yang diasuh oleh dr Tan Shot Yen.
Belum ada Komentar untuk "Benarkah Harus Mengonsumsi Susu Secara Terus Menerus?"
Posting Komentar