Mengenal Tradisi Minum Teh
Minum teh di Indonesia sepertinya menjadi hal biasa, yang dilakukan kapan saja. Bahkan saat ini sangat banyak penjual minum teh yang menjual teh dengan harga murah di pinggir jalan dengan bentuk cup. Namun tahukah Anda, ternyata menikmati sajian minum teh di berbagai negara menjadi hal yang berbeda. Untuk itulah pada kesempatan ini disampaikan tentang mengenal tradisi minum teh.
Ilustrasi (Gambar: linisehat.com) |
Terdapat banyak sekali referensi yang membahas tentang teh, termasuk budaya yang dilakukan saat menikmati sajian minum teh ini, salah satunya yang ditulis oleh Dharnoto, yang pernah dimuat dalam Majalah Intisari Edisi No. 509.
Cerita Tentang Tradisi Minum Teh Jepang dan Cina
Berbeda tradisi, berbeda budaya yang dilakukan di suatu negara. Hal ini berlaku pula dalam menikmati sajian teh.
Di negara lain seperti di Jepang, Inggris, Belanda atau bahkan Korea, minum teh diperlakukan secara khusus.
Bahkan, karena khasiatnya yang menjadikan pikiran terang, teh seduh diandalkan dalam berbagai pembicaraan bisnis, dalam aktivitas mengobrol ringan atau saat meditasi.
Cerita tentang teh akan membawa ke Cina sekitar tahun 2737 Sebelum Masehi. Saat itu Kaisar Shen Nung sedang berjalan-jalan meninjau perkebunan yang berlokasi agak jauh dari istana. Sebagai pecinta khasiat dedaunan, Kaisar Shen Nung dijuluki sebagai Bapak Tanaman Obat Tradisional China.
Setelah lelah meneliti pepohonan, kemudian Sang Kaisar beristirahat di tepi jalan. Para pelayan pun kemudian buru-buru merebus air di kuali untuk minum di bawah sebatang pohon. Entah dari mana asalnya, tiba-tiba angin bertiup sangat kencang. Beberapa dedaunan itu jatuh ke kuali air mendidih, Para pelayan pun kaget ternyata airnya berubah menjadi coklat.
Baca juga: Teh Herbal.
Dengan tenang, karena yakin air tersebut tidak mengandung racun, Kaisar pun meminumnya, dan badan kasiar pun menjadi segar. Dan akhirnya seisi rombongan kemudian diajaknya menikmati minuman yang segar dan misterius ini.
Para pelayan dan pengawal pun diperintahkan untuk memetik dan membawa daun pohon secukupnya ke istana, kemudian setiap siang menjelang sore, Kaisar Shen Nung meminta dibuatkan minuman hangat segar yang disebut dengan ‘tay’ ini.
Terdapat cerita legenda lain tentang teh di Cina, sekitar tahun 780, Lu Yu, seorang cendekiawan negeri Cina yang mengumpulkan seluruh temuan tentang manfaat daun teh. Kemudian membukukan temuannya dalam sebuah literatur Chia Ching (The Classic of Tea), yang mengupas beragam cara menanam teh dan cara pengolahannya.
Beda di Cina, beda pula di Jepang. Jepang sendiri memiliki cerita tentang teh yang akhirnya menjadi legenda.
Pada tahun 520, Daruma seorang pendeta Buddha, tengah bertapa. Entah mengapa saat bersemedi, ia tertidur. Begitu terjaga ia sangat marah pada dirinya sendri, mengapa bisa tertidur saat bertapa. Agar pengalaman memalukan itu tak terulang, ia kemudian memotonng kedua kelopak matanya. Kemudian dilemparkan ke sekitar tempatnya bertapa. Tidak berapa lama dari tempat jatuhnya kelopak mata tumbuh pohon yang pada kemudian hari disebut pohon teh.
Legenda Daruma yang ternyata mengilhami pendeta Buddha Zen, Yeisei, untuk memperkenalkan upacara minum teh di Jepang. Bahkan nilai yang dikandung upacara tersebut dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas meditasi. Memang pada akhirnya, para penganut aliran Zen terbiasa meneguk teh agar bisa tetap terjaga selama meditasi berjam-jam.
Berita tersebut akhirnya tersebar, dan akhirnya pihak istana kekaisaran mendukung, sehingga tradisi minum teh menular di kalangan kerajaan dan seluruh biara. Hal ini membuat Yeisei dianggap Bapak Teh di Jepang.
Tradisi Minum Teh di Inggris dan Persebaran Teh ke Seluruh Dunia
Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah bagaimana akhirnya minuman dengan aroma khas ini bisa menguasai dunia?
Jalur sutra kemudian digunakan dinasti Han Tang Soon dan Yuan untuk memperkenalkan teh ke luar negeri. Selain jalur perdagangan, jalur legendaris ini juga dikenal sebagai pintu gerbang pertukaran budaya.
Pada akhirnya, teh mengalir masuk ke Eropa berkat Jasper de Cruz, Missionaris Portugis yang pada tahun 1560 membawa teh masuk ke Portugal. Dari sini kemudian menyebar dengan cepat ke Prancis, Belanda dan negara-negara Baltik. Namun sayang, karena dibawa melalui laut, harganya masih mahal.
Negara-negara Eropa yang juga memiliki tradisi minum teh, seperti Inggris, mengenal teh sangat terlambat. Baru sekitar tahun 1644 East India Company (EIC), perusahaan dagang Inggris di bawah pemerintahan Ratu Elizabeth I, membuka cabang di Xiamen, Cina. Sejak itu kehangatan dan aroma segar teh mulai merasuki budaya bangsa Inggris.
Bahkan sejak tahun 1652, teh menjadi minuman nasional karena Raja Charles XI dan istrinya Catherine de Braganza sangat menyukainya. Bertahun-tahun kemudian sekitar tahun 1669, EIC memperoleh lisensi untuk mengangkut teh dari Cina ke Inggris, monopoli ini berlangsung hingga tahun 1883.
Pada tahun 1720, bangsa Inggris membawa teh ke negara koloninya, Amerika Serikat (AS). Ternyata mengalirnya teh ke Amerika Serikat mencatat adanya peristiwa menarik. Pada tahun 1773, EIC memperoleh hak menjual teh langsung dari Cina ke Amerika Seikat. Hal ini membuat para eksportir Eropa dan Importir Amerika Serikat tersinggung, karena hak yang diperoleh EIC membuat jalur perdagangan dan perpajakan menjadi terpotong. Hal ini akhirnya menimbulkan kemarahan atas Inggris.
Saat kapal Inggris merapat di Pelabuhan Boston, penduduk kota marah, kemudian dengan spontan menaiki kapal dan membuang semua peti berisi teh ke dalam laut. Peristiwa ini pun dikenang sebagai ‘Boston Tea Party’, yang memicu meletusnya revolusi bangsa Amerika Serikat terhadap penjajahan Inggris. Tentu yang menarik disini, hanya karena teh bisa menjadi penyulut pemberontakan.
Kisah Masuknya Teh dan Tradisi Minum Teh di Indonesia
Cerita masuknya teh ke Indonesia bisa dikatakan cukup unik, Dr. Andreas Cleyer, seorang Belanda, pada tahun 1686 membawanya ke Batavia sebagai tanaman hias (ada sumber lain yang menyebutkan, teh masuk Hindia Belanda tahun 1690, bahkan ada yang mengatakan pedagang Cina membawanya pada abad ke-12).
Pemerintah Belanda tertarik, kemudian pada tahun 1728 mengimpor biji teh dari Cina untuk dibudidayakan di Pulau Jawa.
Baca juga: Teh Hijau dan Manfaatnya untuk Melawan Kanker Prostat.
Pada awalnya usaha ini dikatakan kurang berhasil, namun ada Dr. Van Siebold, seorang ahli bedah tentara Hindia Belanda yang pernah melakukan penelitian alam di Jepang. Hingga pada tahun 1824, ia memelopori budidaya teh dengan bibit dari Jepang, dan ternyata tanahnya cocok, yakni pada ketinggian 200 sampai 2.000 meter dari atas permukaan laut, dan suhu 14 sampai 25 derajat Celsius.
Usaha tersebut ternyata membuat Jacobson tertarik untuk membuka perkebunan teh pada tahun 1828. Di perkebunan tersebut tanaman dijaga pertumbuhannya (dengan dipotong) agar tingginya tidak lebih dari 1 meter, untuk memudahkan pemetikan pucuk daun mudanya.
Bahkan karena minuman yang bisa diseduh tersebut mampu menyihir dunia dan menjadi komoditas pemerintah Hindia Bealnda, maka Gubernur Jenderal Van Den Bosch memasukkan teh sebagai salah satu yang harus ditanam oleh rakyat dalam politik Tanam Paksa (Culture Stetsel).
Budaya Minum Teh dan Kebiasaan Minum Teh Setiap Hari
Tanaman teh (Camellia Sinensis) pada akhirnya memperkaya budaya dunia. Di Inggris dikenal high tea, budaya minum teh di sore hari sambil ngobrol, menunggu waktu makan malam. Katanya kebiasaan ini mengadopsi tradisi keluarga kerajaan Inggris yang sering menikmati waktu di taman, menikmati segarnya secangkir teh.
Pada kisah lain, kaum aristokrat Inggris kemudian mempopulerkan afternoon tea, yaitu arena kumpul bersama, sambil ngobrol, baik tentang politik maupun bergosip ringan. Kebiasaan ini semakin meluas dan tetap bertahan sampai sekarang.
Selain kisah di atas ada juga pemilahan cara minum teh gaya Asia dan gaya Eropa. Pada bangsa Asia lebih suka tanpa gula, sehingga rasanya agak pahit. Rasa pahit ini kemudian diredam dengan penganan manis seperti kudapan. Sedangkan bangsa Inggris lebih kreatif, dengan memberi nuansa berbeda pada setiap sajian, misalnya dengan dicampur mawar, melati, dan chamomile (sejenis aster mungil yang dikeringkan beraroma wangi dan lembut). Sedangkan kebanyakan bangsa Eropa menambahi teh dengan gula atau krim.
Lain di Eropa, terdapat perbedaan juga cara menikmati teh antara Korea dan Jepang. Sado, tradisi minum teh yang dipelopori pendeta Yeisei, seorang pendiri aliran Rinzaishu, diyakini bangsa Jepang telah berlangsung selama berabad-abad sebagai bagian upacara Buddha Zen.
Namun bangsa Korea, meyakini bahwa dado mereka lebih tua, dengan alasan budaya minum teh tersebut diserap dari India sebelum ditularkan ke Jepang. Bangsa Korea berpegang pada artefak abad keempat dan ketujuh yang ditemukan di berbagai tempat di Korea.
Di Korea, dado dianggap sebagai ritual persembahan teh untuk menghormati sang Buddha, yang memposisikan teh sebagai benda berharga. Antara lain utnuk menyambut tamu dan di masa lalu ikut menetukan derajat keluarga bangsawan. Bahkan di kuil-kuil minum teh diibaratkan meditasi, menyertakan seluruh panca indra dalam merasakan setiap hirupan teh.
Sebagai bagian dari tradisi, teh harus diminum sesuai tata cara. Mula-mula, dalam suatu upacara minum teh, teh dituangkan sedikit ke setiap cangkir. Selama menunggu semua cangkir terisi kemudian mendapat giliran kedua pengisian cangkir, rasa, warna, dan aroma teh dalam setiap cangkir akan semakin kuat.
Kemudian teh yang hangat tersebut diseruput dalam tiga tegukan. Setiap teguk teh dikulum sejenak dalam mulut, agar rasanya bisa lebih dinikmati. Rasa hangat yang menyebar ke seluruh tubuh, menyegarkan dan menimbulkan rasa damai.
Itu dia sedikit informasi tentang “mengenal tradisi minum teh”. Semoga informasi tersebut bermanfaat dan menjadi referensi untuk Anda.
Belum ada Komentar untuk "Mengenal Tradisi Minum Teh"
Posting Komentar