Kutu Kaktus
Ada apa dengan kutu kaktus? Ini yang menarik, selama ini mungkin menganggap kutu yang ada pada tumbuhan kaktus yang dibudidayakan di depan rumah, dianggap sebagai hama yang tidak berguna. Namun siapa sangka kalau kutu kaktus atau kutu daun memiliki manfaat yang tidak akan bisa Anda bayangkan.
Ilustrasi (Gambar: tucson.com) |
Banyak sekali catatan dan informasi tentang pemanfaatn hewan atau tumbuhan dalam rangka menambah nilai kehidupan, salah satunya yang disampaikan oleh Seto Wardono yang juga pernah dimuat dalam Majalah Intisari Edisi Nomor 536.
Kutu Putih Kaktus dan Manfaatnya
Di era yang semakin maju, dan adanya jargon untuk kembali alam, begitu pula dengan kosmetik. Bahkan untuk memberi rona merah di bibir atau pipi kalau dahulu bergantung pada pewarna sintetatis, karena ide kembali alam, maka bahan baku alami, salah satunya dari kutu mulai digalakkan kembali.
Ide mempercantik diri atau menambahkan pipi ternyata sudah ada sejak lama sekitar 2.500 SM. Setelah terbiasa merontokkan bulu-bulu halus di wajah dengan batu apung, masyarakat Babylonia mencoba memerahkan bibirnya dengan bubuk serangga Cochineal.
Sedangkan bangsa Indian dari suku Aztec dan suku Maya juga memanfaatkan serangga yang sama. Dari wilayah yang dihuni para warga asli wilayah subtropis dan tropis Amerika Utara, Meksiko dan Amerika Selatan (Peru), kutu-kutu itu pun disebarkan ke Spanyol, Kepulauan Kenari, Algeria dan Australia.
Baca juga: Ada Apa dengan “Kucing Rumahan”?
Dengan berkembangnya jaman, penggunaan kutu semakin memudar, dan mulai abad ke-20 orang lebih suka menggunakan pewarna buatan, yang kemudian terbukti mengandung racun dan berakibat buruk secara jangka panjang terhadap kesehatan tubuh.
Hal inilah sebabnya, pada akhirnya lipstik dan pemerah pipi mulai banyak dihasilkan dari serangga kecil penghasil pigmen merah tersebut. Pewarna ini tidak mengandung karsinogen dan kualitas warnanya tidak kalah dengan pewarna sintetis.
Cochineal (Dactylopius coccus) termasuk ordo Homoptera dan tergolong jenis kutu daun. Maka tidak heran bila besarnya hanya berukuran 2 sampai 5 mm saja. Tubuh cochineal betina mengandung senyawa kimia asam karmin (carminic acid C22H20 O13), yaitu pigmen warna merah, yang setelah diekstraksi menghasilkan pewarna merah karmin. Dengan perlakuan tertentu akan dihasilkan gradasi berbagai warna merah.
Hanya cochineal betina yang bisa menghasilkan pewarna. Cochineal betina bertubuh lunak, oval, dan datar tanpa sayap. Permukaan tubuhnya dilapisis lilin putih seperti kapas, bila dipegang akan lepas berhamburan seperti kapur.
Cochineal betina ini selalu membentuk koloni dan hidup berhimpitan menempel pada bantalan kaktus. Untuk makan, cochineal ini cukup menusukkan mulutnya ke bantalan kaktus dan langsung menyedotnya.
Setelah kawin, tubuh betina yang pipih akan menggembung seperti bola dan akan melahirkan nimpa kecil. Nimpa betina akan mengeluarkan senyawa lilin putih dari tubuhnya untuk melindungi diri dari air dan trik panas cahaya matahari. Senyawa ini membuat tubuhnya tampak abu-abu atau keputih-putihan berdebu.
Nimpa jantan makan kaktus sampai mencapai kedewasaan seksual, dan setelah memiliki sayap mereka akan segera kawin. Tubuhnya mudah dibedakan dari betina karena ramping bersayap. Bentuknya pun seperti kupu-kupu kecil, berwarna putih dan tidak begitu agresif. Bila disentuh, baru melenting dan terbang berpindah tempat. Pada ekornya terdapat sepasang tonjolan berbentuk seperti benang.
Siklus hidup cochineal jantan ini snagat pendek, sekitar 4 sampai 7 hari. Meskipun singkat, cochineal jantan sanggup mengawaini sekitar 200 betina. Puluhan betina setiap hari.
Pola Hidup Cochineal
Meskipun cochineal bisa hidup di semua jenis kaktus, namun yang sangat disukainya adalah jenis Opuntia ficus-indica, yang banyak dijumpai di kawasan padang gurun Peru, hubungannya adalah parasitisme yaitu menguntungkan kutu tetapi merugikan kaktus.
Sebagai parasit, cochineal menghisap cairan dari tubuh kaktus sepanjang hidupnya, hal ini mengakibatkan kaktus mengalmai gangguan pertumbuhan, bahkan kegagalan pembentukan bunga dan buah. Meskipun hal ini tidak sampai membuatnya mati, karena kaktus mampu hidup 150 tahun.
Pada awalnya cochineal diambil dari kaktus dari alam liar, dengan seiring bertambah besarnya kebutuhan akan pewarna, maka dilakukan pembudidayaan serangga ini, sehingga hasil panen tidak lagi tergantung alam liar.
Bibit kaktus diambil dari alam liar dengan teknik stek. Namun sekarang bibit tersebut bisa didapat dari petani lain atau dari kebun sendiri. Caranya dengan memotong sebagian kaktus kemudian disemaikan di tanah.
Baca juga: Mengenal Ketam Tapal Kuda.
Untuk menjaga dari terik matahari, dibuatlah peneduh dari palastik yang dibuang setelah kaktus tumbuh kuat.
Selanjutnya para petani mengambil bibit cochineal dari kerumunan cochineal muda dengan dikerok menggunakan sikat agak kasar. Dalam hal ini dibutuhkan kehati-hatian dalam proses pengerokan. Bibit yang terkumpul diletakkan di atas kain kasa, kemudian diikat secara hati-hati pada permukaan kaktus. Bibit tidak boleh tergencet karena bis amati.
Cara lainnya, dengan meletakkan bibit ke dalam tabung dari anyaman yang longgar daun kelapa atau anyaman bambu. Setelah itu bibit sudah keluar, diambil dan ditempelkan di permukaan kaktus.
Akhirnya bibit cochineal ditutupi dengan potongan koran, agar tidak langsung terkena sinar matahari dan terlindung dari terpaan angin, hujan atau para pemangsa.
Setelah cochineal tumbuh, berkembang dan menyebar rata pada permukaan kaktus di seluruh lahan, tibalah masa panen, yang ditandai dengan adanya bola kecil berwarna kuning di ujung ekor betina, sebagai pertanda kehamilan.
Sewaktu hamil, kandungan asam karminnya mencapai tingkat tertinggi, dengan kualitas warna paling baik, karena tubuhnya berlapis lilin, maka setelah dipanen harus dibersihkan dulu baru diproses menjadi pewarna merah karmin.
Pada proses panen, dilakukan dengan menggunakan sikat kasar, terbuat dari sabut kelapa yang dipotong pendek. Sikat bergagang pendek digunakan untuk memanen kutu yang mudah dijangkau, sedangkan sikat bergagang panjang digunakan untuk menjangkau cochineal yang menempel di pohohn kaktus yang tinggi.
Sesudah dijemur selama kurang lebih 8 hari, cochineal pun mengering dan siap dijual di toko-toko pengepul.
Sejarah Penggunaan Cochineal
Setelah dilakukan uji toksin, ternyata zat pewarna dari kutu cochineal tidak mengandung racun dan maan digunakan. Sehingga kutu ini dimanfaatkan secara luas untuk pewarna kosmetik, antara lain untuk lipstik, perona pipi, farmasi, tinta dan cat air untuk menggambar, pakaian, bahkan untuk pewarnan makanan.
Maka melihat manfaatnya yang besar, pada abad ke-15, saat Inggris menjajah Meksiko, pemerintah kolonial mewajibkan setiap daerah jajahan membayar upeti berupa 2.000 selimut kapas hias dan 40 kg pewarna merah (cochineal), yang terjadi pada masa kepemimpinan Montezuma.
Pewarna tersebut digunakan untuk mewarnai seragam serdadu Inggris yang terkenal dengan warna merah cerah.
Sepanjang periode kolonial, suku pribumi terus mengembangkan produksi pewarna ini, yang merupakan produk ekspor setelah perak dan digunakan di seluruh Eropa. Begitu Meksiko bebas dari penjajahan pada 1810 -1821, orang Meksiko mendominasi perdagangan cochineal dan secara besar-besaran muncul di Guatemala dan Kepulauan Kenari.
Saat pada abad ke-19 ditemukan pewarna tiruan, terjadi susut dalam produksi pewarna alami cochineal, bahkan nyaris hilang dari pasaran. Hal ini mengakibatkan, produsen terbesar saat itu, Meksiko dan Spanyol mengalami goncangan keuangan serius. Sepanjang abad-ke-20, serangga ini dilupakan dan pewarna lokal pun hanya diproduksi sedikit, hanya sekedar untuk menjaga tradisi lokal.
Dan akhir-akhir ini, setelah pewarna tiruan bisa memicu kanker, orang mulai berpaling ke cochineal lagi.
Itu dia sedikit informasi tentang kutu kaktus. Semoga bermanfaat dan menjadi referensi untuk Anda.
Belum ada Komentar untuk "Kutu Kaktus"
Posting Komentar